Sabtu, 28 September 2013

Anamnesa

Anamnesis. Atau biasa juga disebut anamnesa. Ada yang tahu apa artinya?

Anamnesis itu adalah salah satu tahap dalam diagnosis kepada pasien oleh tenaga medis, yaitu dokter atau dokter gigi. Anamnesis merupakan tahap paling awal dan penunjang diagnosis yang paling utama.

Jadi nih ya, kalau kalian pergi ke dokter atau dokter gigi, terus mereka bilang, “Selamat pagi, Pak…. Selamat pagi, Bu…. Silakan duduk,” dengan wajah yang sangat ramah, itu bukan salah satu trik basa-basi, boi. Itu salah satu permulaan anamnesis.

Kemudian dokter itu mulai mencari-cari bolpoin dan kertas, dan mulai nanya-nanya, “Keluhannya apa, Pak?” sambil berharap si pasien menceritakan sejelas-jelasnya tentang kondisinya sesakit apapun dia. Ngaku deh, siapapun yang lagi sakit, apalagi kalo sakitnya lumayan parah, pasti dalam hati ngedumel kalo ada dalam situasi begini. Gini nih yang kadang bikin diagnosis dan pengobatan suatu penyakit nggak maksimal.

Jadi ya, aku bagi tau ya sama kalian semua, tahap-tahap dari penyembuhan suatu penyakit itu banyak, dan mau nggak mau harus diikuti secara sistematis. Pertama, biar sembuh ya berarti kalian harus sakit dulu dong. Hahaha…. Setelah sakit, terus (terpaksa) say hi sama dokter, ada yang namanya anamnesis tadi. Setelah anamnesis, dokter bakal periksa beberapa anggota tubuh kalian. Kalo’ sumber penyakitnya ketemu, kalian bakal dapat obat atau resep, jalan ke mbak-mbak resepsionis, dan boleh pulang setelah meninggalkan beberapa lembar berwarna merah (Duit 100 ribuan, rek!). Nah kalo’ dokternya ngerasa ada yang perlu dicek lebih lanjut, mungkin kalian bakal dapet sedikit obat dan surat pengantar untuk cek ke laboratorium atau usulan ke dokter lain, kemudian jalan ke mbak-mbak resepsionis, dan meninggalkan sedikit receh (ini hanya bisa terjadi kalau uang 100 ribuan ada dalam bentuk koin). Bedanya, kalau kasus pertama tadi, datang ke satu dokter itu bisa langsung get better, yang kedua ini masih harus dateng ke dokter lain atau lab, dan (lagi-lagi) harus meninggalkan pundi-pundi berharga di dompetnya. Hahaha….

So guys, anamnesis itu salah satu usaha buat mengkerucutkan tipe penyakit yang sedang kalian derita. It means kalian mempersingkat waktu kunjungan. Pada ngaku deh, kalian pada males kan ngunjungin dokter? Tapi jangan salah lho, dengan kalian mempercepat waktu kunjungan, itu berarti kalian juga mempersingkat waktu para dokter buat tatap muka sama kalian dan mempercepat dokter buat ketemu pasien lain. And it means, another income lah yaa… hahaha….

Kembali ke anamnesis. Jadi misalnya kalian bilang, “Dok, perut saya sakit,”. Yakin deh, tuh dokter pasti nanya, “Sakitnya kaya’ gimana mas? Kaya’ ditusuk-tusuk, atau diremes-remes, atau ditinju-tinju?”. Dan kalian pasti dengan males bakal bilang, “YA POKOKNYA SAKIT, DOOOK!!!” dengan wajah seperempat bingung, seperempat geli, dan setengah marah. Itu adalah jawaban yang salah! (Jadi, mau fifty fifty, phone a friend, or asking audience?)

Dan dokternya bakal menjelaskan dengan sabar, “Jadi gini mas, kalau kaya’ ditusuk-tusuk, mungkin ada masalah dengan pencernaan Anda bagian bawah. Bisa jadi konstipasi (susah BAB), atau lainnya,”

“Kalau kaya’ diremes-remes, Dok?” tanya kalian penasaran. “Bisa jadi masalahnya di pencernaan bagian atas, misalnya Anda kena maag, atau gastritis (radang pada lambung),”

“Terus kalau kaya’ ditinju-tinju?”
“Mungkin Anda sedang hamil, dan anaknya lagi nendang-nendang Mas!” Hahahaha…..

Yang terakhir tadi jelas bukan ya. Just an intermezzo. Oke, jadi udah dapat gambaran soal anamnesis kan?

Jadi, suatu hari di awal semester 3, aku dapat materi anamnesis itu. Excited lah pasti. Namanya juga nambah ilmu baru, yang katanya ini ilmu segala kunci. Kunci dapat banyak pasien, kunci mendiagnosis pasien, kunci mengobati pasien, dan kunci biar pasien datang lagi nanti. :D

Setelah beberapa kali kuliah pengantar, tibalah waktunya buat aku praktek. Mempraktekkan apa aku bisa terjun langsung menganamnesis pasien. Jatah waktu yang diberikan itu 1 kali seminggu, selama 3 minggu berturut-turut. Dan tiap latihan anamnesis itu, ada dosen pembimbing tiap kelompok yang bakal menilai kemampuan anamnesisku.

Minggu pertama, latihan anamnesis sesama teman. Jadi nanti aku sama temen aku sendiri gantian buat saling anamnesis. Kalau aku anamnesis, temenku yang jadi pasiennya. Kalau temenku yang anamnesis, aku jadi pasiennya. Hari pertama sih sukses. Kan aku bisa janjian sama temenku, ”Eh, nanti kamu pura-pura sakit apa? Biar ntar aku jawabnya cepet gitu loh,” hahaha…

Minggu kedua, masih sama teman sendiri. Tapi dirandom. Kalo’ minggu lalu aku bisa pilih temen buat aku ajak janjian dia mau sakit apa, kali ini nggak bisa.  Tapi untungnya kalo sesama temen masih gampang. Dia nggak susah-susah nanyanya. Penyakit(pura-pura)nya juga nggak aneh-aneh. Jadi misalnya, “Dok, gigi saya sakit!” terus aku jawab, “Yang mana? Coba dibuka dulu mulutnya!” “Yang ini, Dok!” sambil asal nunjuk gigi. “Mbaknya suka makan panas? Minum dingin? Makan manis-manis gitu?” Asal dia ngangguk aja aku cuma bilang, “Ya sudah, kalau begitu jangan makan panas atau minum dingin dulu. Terus dikurangi yang manis-manis. Jangan lupa obatnya diminum sampai habis,”. DONE, selesai sudah anamnesisnya. Dan angka 8 atau 9 pun menghiasi kolom penilaian dengan indahnya. 

Dan minggu ketiga, ini minggu penentuan. Apa aku bakal dapet nilai A untuk ketiga kalinya? Dan nggak cuma merpati, dosen pun tak pernah ingkar janji. Kalau mereka bilang bakal ada test, ya bener-bener ada test. Skenario untuk minggu ini adalah aku bakal menganamnesis ‘pasien sebenarnya’. Meskipun yang dinamakan ‘pasien sebenarnya’ ini adalah mahasiswa-mahasiswa co-ass alias para dokter muda, bukan pasien yang lagi dirawat di RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) UNAIR.

Dan entah aku mimpi apa tadi malam, tapi aku bener-bener shock dengan ‘pasien’ yang aku dapat pagi ini. Namanya mas A***, mahasiswa FKG angkatan 2007. Orangnya ganteng, chubby, pakai kacamata, dan good looking. Awalnya pas aku tahu dia ‘pasien’ aku pagi ini, aku nggak ada feeling apa-apa nih. Tapi begitu dia mulai mendekat dan mengedipkan mata dengan nakal ke aku, baru aku tau ini pertanda nggak baik.
Eits, jangan negative thinking dulu ya. Yang aku maksud mengedipkan mata dengan nakal itu bukannya mesum ya. Tapi justru mata jail. Seakan-akan matanya itu bilang, “ABIS LO GUE KERJAIN PAGI INI!” sambil ketawa setan.

Mas A*** berjalan melintasiku dan pas sampai di sebelahku, dia berbisik, “Jadi kamu ‘dokter’ku pagi ini? Beware ya! Hahaha…”. Dan begitu dia ngobrol sama dokter pembimbing kelompokku untuk menyesuaikan skenario, aku sudah mulai berdoa dalam hati, “Ya Tuhan, berilah aku yang terbaik,”

Dosenku mengangguk-angguk tanda setuju dengan skenario yang dibuatnya. Dan…….it show time!!!
“Selamat pagi, saya dokter Anda pagi ini. Silakan duduk,” sapaku ramah pada mas A***. Ini caraku memulai anamnesis. Di luar dugaan, mas A*** tetep berdiri di pintu masuk kubikel. Aku mengulang sapaku, “Mari, silakan duduk,”

Dia menggeleng pelan sambil memasang wajah aneh. Aku diam sebentar sambil mikir, “Nih orang maunya apa sih?”

Tiba-tiba dosenku bilang, “Eh mbak, di skenario itu pasien kamu anak AUTIS,”. Aku shock setengah mati.

“Apa, Dok?” tanyaku untuk memastikan aku tidak sedang mengalami gangguan pendengaran.

“Iya, itu anak AUTIS. AUTISME. Tau kan apa itu Autis?”

“Eh, i..iya, Dok. Tau,” jawabku mulai gugup.

“Ya sudah, lanjutkan lho,” ucapnya enteng sambil mencoret-coret lembar nilaiku. “What the…..?? God, Kau tak akan mengujiku di luar batas kemampuanku kan?” protesku dalam hati.

Akhirnya ku turuti saja skenario mas A***. “Ayo dek, masuk dulu ke sini, ya? Kita lihat giginya dulu,” ucapku sambil menuntun mas A*** yang lagi pura-pura bego. Dalam hati aku marah-marah nggak karuan lah. Udah ngerepotin, minta digandeng pula. Curi-curi kesempatan banget. Kalau nggak demi lulusnya aku di mata kuliah ini, males juga gandeng-gandeng dia.

Niatnya, ‘pasien autis’ku mau ku dudukkan di kursi di depan meja anamnesis. Tapi dia NGGAK MAU! Coba bayangkan penderitaanku! Dia bilang, “Nggak mau. Aku maunya duduk di kursi itu,” ucapnya cadel sambil menunjuk dental chair. Aturan bakunya adalah harusnya pasien didudukkan di kursi biasa dulu untuk dianamnesis, lantas dipersilakan ke dental chair untuk dilakukan penanganan. Tapi khusus pasien gelo yang satu ini, aturan anamnesis bisa dirubah.

“Ya sudah, yuk duduk sini,” ucapku sambil menggerutu dalam hati. Sudah duduk di dental chair pun masih merepotkan. Tangannya kelayapan kemana-mana. Meraih-raih alat-alatku, main-mainin saliva ejector. “Adek, diem sebentar ya. Kita lihat giginya dulu,”

“Tadi ke sini sama siapa?” tanyaku pada ‘pasien autis’ itu untuk sekedar menambah nilai. Hahaha….
”Sama kucing,” jawabnya masih dengan cadel. See, mana ada orang datang ke dokter gigi dianter KUCING!

“Lho, Mamanya kemana, dek?” tanyaku. “Di rumah,” jawabnya singkat.

“Kok nggak dianter Mama? Mamanya ngapain?” tanyaku sambil menulis-nulis di dental record. “Mamaku lagi mainan kucing,”

DAMN..!!!

Dia kemudian meraih-raih jas labku. “Tante dokter kenapa jasnya warna putih?” tanyanya. “Oh, iya,” jawabku tersenyum memaksa. GUE NGGAK PUNYA IDE MAU JAWAB APAA….

“Nggak takut kena kotor? Nanti kalo kena kucingku gimana?” ucapnya dengan mengedipkan mata ke arahku. Sekedar tau ya, posisi dia itu berhadapan denganku tapi membelakangi dosenku. Jadi, dia bisa menggodaku dengan mimik mukanya yang menjengkelkan, tapi aku nggak bisa membalasnya. Soalnya dosenku ngelihatin aku terus.

“Memangnya kucingnya lagi di mana, dek?” tanyaku. “Itu, di bawah keset,” ucapnya innocent. KUCING MANA YANG HOBI NONGKRONG DI BAWAH KESET COBA??? KALOPUN HOBI, KESET APA YANG BISA NAMPUNG KUCING, SETIPIS APAPUN KUCING ITU!!!!

“Oke, jadi giginya kenapa? Yang sakit yang mana?”

“Nggak ada yang sakit,”. Jawabnya singkat. See? Huaa,,,,darah tinggi gue!

“Saya boleh lihat giginya ya,” ucapku setengah merayu sambil mencoba membuka mulutnya. Dia menggeleng.

“Jangan Tante, pipiku sakit soalnya,”

“Cuma dilihat kok, nggak sakit,” rayuku.

“Biasanya kalo’ pipiku sakit, sama Mama digini-giniin,” ucapnya sambil mengusap-usap pipinya sendiri. Aku makin gemes sama mas A*** ini. Maunya apa sih nih orang.

Dan pembaca, akhirnya ku usap-usap juga pipinya itu. Tapi Tuhan sedang baik padaku rupanya. Setelah itu pasien ini mulai kooperatif denganku. Sudah cukup 20 menit bersamanya. BIG ENOUGH!

Setelah diagnose selesai, ku persilakan dia turun. “Tante sudah selesai periksanya. Turun dulu ya dek. Nanti Tante kasih obatnya.”

“Nggak mau. Enakan di sini. Adem. Empuk,”

“Iya, nanti ke sini lagi, ya,” bujukku.

“Boleh ketemu Tante Dokter Cantik lagi?” tanyanya dengan cadel sambil mengedipkan sebelah mata. Aku
melotot padanya setelah ku pastikan dosenku tidak sedang melihatku. Dia tertawa tertahan.

“Oke, cukup mbak!” Kata dosenku.

Alhamdulillah….cukup 20 menit saja Kau mengujiku.

Setelah 5 menit evaluasi dari dosen, aku dipersilakan keluar ruangan. Mas A*** membuntutiku. “Maaf ya, Han,”

“Maaf? Enak aja! Nyaris copot jantungku kalo aku nggak bisa jawab pertanyaan mas,”

“Yah, pembelajaran buat kamu lah, Han. Nanti kalo udah jadi dokter malah macem-macem pasien kamu,”

“Iya deh, makasih,” jawabku sewot.

“Lain kali, aku siap kok kalo mau simulasi anamnesis lagi. Tinggal pilih, kamu mau aku jadi pasien apa. Pasien autis udah. Besok-besok apa? Pasien bawel? Ibu-ibu hamil? Atau…secret admirer? Hahaha….”
(--)”